Header Ads Widget

Efektivitas Kelembagaan KPU dan Bawaslu dalam Penyelenggaraan Pemilu: Tinjauan Yuridis terhadap Urgensi Pemantapan sebagai Lembaga Tetap atau Ad Hoc

 

Penyelenggaraan pemilu yang jujur, adil, dan demokratis tidak dapat dilepaskan dari peran kelembagaan yang kuat, independen, dan efektif. Dalam konteks Indonesia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) memegang peranan sentral dalam menentukan legitimasi proses dan hasil pemilu. Namun, hingga saat ini, struktur kelembagaan mereka masih memadukan sistem tetap dan ad hoc. Hal ini menimbulkan pertanyaan fundamental: apakah struktur tersebut masih relevan dan efektif untuk menjawab kompleksitas pemilu modern?

Secara yuridis, Pasal 22E ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dilakukan oleh suatu komisi yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusional ini kemudian dijabarkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang membagi struktur KPU dan Bawaslu menjadi permanen di tingkat pusat hingga kabupaten/kota, dan ad hoc di tingkat kecamatan hingga TPS. Struktur ad hoc ini kerap kali menjadi titik lemah dalam praktik pemilu, terutama karena rekrutmen jangka pendek, kurangnya pelatihan intensif, serta lemahnya akuntabilitas.

Dalam beberapa kasus, kelembagaan ad hoc menunjukkan kerentanan terhadap intervensi politik lokal dan pelanggaran prosedural. Misalnya, banyak laporan yang menyebut bahwa KPPS dan Panwaslu lapangan tidak memiliki kapasitas yang memadai untuk menangani sengketa atau tekanan politik saat pemilu berlangsung (Nurhasim, 2013). Hal ini tentu berdampak pada kredibilitas proses pemilu secara keseluruhan. Menguatkan kelembagaan sebagai lembaga tetap dapat menjadi solusi jangka panjang untuk meningkatkan profesionalitas, konsistensi kebijakan, serta akuntabilitas publik. Negara-negara seperti India, melalui Election Commission of India, telah berhasil menunjukkan bahwa model lembaga tetap yang profesional dan non-partisan dapat menjamin stabilitas demokrasi elektoral (Asshiddiqie, 2006). Meski demikian, tantangan fiskal dan risiko birokratisasi juga harus diantisipasi.

Dengan demikian, arah reformasi ke depan seharusnya tidak hanya mempertahankan status quo kelembagaan, tetapi mendorong evaluasi menyeluruh terhadap efektivitas model ad hoc, serta membuka ruang revisi terhadap kerangka hukum pemilu untuk memperjelas desain kelembagaan yang lebih permanen, berdaya, dan profesional. Urgensi pemantapan kelembagaan ini bukan hanya kebutuhan administratif, melainkan bagian dari upaya menjaga integritas demokrasi itu sendiri.

Referensi:

Asshiddiqie, J. (2006). Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press.

KPU RI. (2019). Laporan Evaluasi Nasional Penyelenggaraan Pemilu Serentak Tahun 2019. Jakarta: Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia.

Mahfud MD. (2009). Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: LP3ES.

Nurhasim, M. (2013). Menjaga Independensi dan Profesionalisme Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Bawaslu RI.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Posting Komentar

0 Komentar