Header Ads Widget

E-Commerce Tanpa Keadilan: Saat Negara Harus Hadir Mengatur Ulang Pasar Digital



(https://id.pinterest.com/)

Dalam satu dekade terakhir, e-commerce telah menjelma menjadi tulang punggung ekonomi digital Indonesia. Didukung oleh penetrasi internet yang mencapai lebih dari 78% penduduk, sektor ini mencatat nilai transaksi hingga Rp476 triliun pada 2023 dan diproyeksikan menembus Rp600 triliun pada 2025. Pertumbuhan ini terlihat begitu menjanjikan, membuka lapangan kerja baru, memperluas akses pasar bagi pelaku usaha kecil, dan memudahkan konsumen memenuhi kebutuhannya. Namun, di balik pertumbuhan yang impresif ini, muncul pertanyaan krusial: apakah transformasi ini benar-benar membawa keadilan ekonomi bagi semua?

Digitalisasi memang menghadirkan peluang. Pemerintah mencatat lebih dari 22 juta pelaku usaha mikro telah terdigitalisasi hingga akhir 2023. Banyak UMKM berhasil memperluas jangkauan pasar dan meningkatkan efisiensi bisnisnya. Namun realitas di lapangan menunjukkan bahwa digitalisasi tidak serta-merta menghasilkan pemerataan. Banyak pelaku usaha kecil justru mengalami keterasingan digital. Mereka yang sudah hadir di platform e-commerce pun tidak otomatis meraih keuntungan. Ketergantungan terhadap algoritma yang tak transparan, biaya iklan yang tinggi, dan sistem promosi yang menguntungkan pemain besar membuat banyak UMKM hanya menjadi "penumpang kelas ekonomi" dalam kereta digital yang lajunya makin cepat.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah masifnya masuk produk impor murah secara langsung ke konsumen melalui platform digital. Tanpa pengawasan yang ketat terhadap label, kualitas, dan bea masuk, produk-produk ini menekan harga pasar dan melemahkan daya saing produk lokal. Laporan LPEM FEB UI (2023) menunjukkan bahwa sekitar 47% produk fesyen yang dijual di e-commerce Indonesia adalah barang impor tanpa label resmi. Tak heran jika laporan ASEPHI menyebutkan bahwa 62% pelaku usaha kecil mengalami penurunan omzet sejak promosi besar-besaran dari produk impor menyerbu ruang digital.

Dalam konteks ini, langkah Kementerian Keuangan untuk menunjuk platform marketplace sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 atas transaksi penjualan barang oleh merchant menjadi langkah strategis yang patut diapresiasi. Skema ini memungkinkan negara untuk secara langsung menarik pajak dari pelaku usaha yang berjualan secara daring, bukan hanya dari konsumen. Secara fiskal, kebijakan ini dapat memperluas basis pajak, meningkatkan penerimaan negara, sekaligus menata ulang keadilan antara pelaku usaha offline yang selama ini dibebani retribusi dan pajak langsung, dengan pelaku usaha daring yang kerap tidak tercatat dalam sistem perpajakan formal.

Namun, pelaksanaan kebijakan ini tetap memerlukan pendekatan yang adil dan edukatif. Pendekatan represif hanya akan menambah beban pelaku usaha kecil yang baru belajar berjualan di ranah digital. Edukasi, simplifikasi sistem pelaporan, serta pemberian insentif justru menjadi kunci agar UMKM tidak sekadar patuh pajak, tapi juga naik kelas sebagai pelaku ekonomi formal yang kuat. Seperti disampaikan oleh Bhima Yudhistira, Direktur CELIOS, dalam wawancaranya dengan Tempo (2024), “Pajak digital harus dibarengi dengan edukasi, insentif, dan sistem yang mendukung UMKM untuk naik kelas, bukan sekadar menarik setoran.”

Lebih dari sekadar masalah fiskal, e-commerce hari ini sudah menyentuh dimensi keadilan sosial. Jika tidak diatur dengan adil, transformasi digital justru akan memperdalam jurang ketimpangan. Negara harus hadir bukan hanya sebagai pemungut pajak, tapi sebagai penyeimbang kekuatan ekonomi. Dari transparansi algoritma, pembatasan impor barang konsumsi murah, hingga dukungan terhadap platform komunitas dan koperasi digital semua langkah ini perlu dibangun secara terintegrasi.

Digitalisasi tidak boleh hanya menjadi cerita sukses segelintir pemain besar. Ia harus menjadi jalan bagi semua terutama mereka yang selama ini tertinggal. Jika tidak, kita akan menyaksikan e-commerce berkembang pesat, tetapi menyisakan ketimpangan struktural yang semakin sulit dikoreksi.

Transformasi digital adalah keniscayaan, tapi keadilan adalah pilihan. Maka tugas negara adalah menjadikan kemajuan ini sebagai milik bersama, bukan sekadar milik mereka yang kuat dan cepat.

Oleh: Indah Nur Fadlillah

Posting Komentar

0 Komentar